@import url(http://fonts.googleapis.com/earlyaccess/scheherazade.css); .scheherazade{font-family: 'Scheherazade', serif;}

25 Februari 2024

Menikmati Tasauf Modern HAMKA

keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk ke budi pekerti yang terpuji

Dukitp dari blogspot imam aminnudin yang menuliksan resensi buku Tasawuf Modern buah karya Prof. DR. Hamka Cetakan I terbitan Republika Penerbit (2015), bahwa :

Buya Hamka memaknai tasawuf sejalan dengan al-Junaid al-Baghdadi yang mengartikan tasawuf sebagai, “keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk ke budi pekerti yang terpuji.Inilah tujuan awal hadirnya tasawuf yaitu membersihkan jiwa, mendidik dan mempertinggi derajat budi dengan menekan segala kelobaan dan kerakusan. Dengan pemahaman seperti ini, bagi Hamka tidak ada yang salah dengan bekerja keras dalam mengumpulkan harta atau berupaya tanpa kenal lelah untuk menggapai kuasa. Justru ini sejalan dengan ajaran Islam yang mendorong ummatnya untuk mencari rezeki dan mengambil sebab-sebab mencapai kemuliaan, ketinggian, dan keagungan dalam hidup. 

Namun, jangan salah menempatkannya. Kekayaan, kekuasaan, dan segala kesenangan dunia ditempatkan sebagai jalan, bukan tujuan. Dalam menggapai bahagia misalnya, kekayaan adalah jalan, bukan kebahagiaan itu sendiri.  Perjalanan kita di dunia ibarat pelayaran kapal yang singgah di sebuah pulau yang indah. Namun, sejak awak nakhoda sudah mengingatkan bahwa izin turun hanya untuk beristirahat sejenak. Silakan melihat-lihat, tapi jangan lalai bila datang panggilan  hendak melanjutkan pelayaran.

 Selengkapnya silahkan kunjungi blog imam aminnudin.

 

img dari gerai buku bekas

Dalam karya ini, Hamka mengupas obsesi manusia dalam mencari kebahagiaan dengan meneliti berbagai pendapat dari para filosof  maupun cendekiawan muslim. Juga memberikan gambaran bagaimana manusia pengaruhnya dalam membina kesehatan jiwa sehingga tidak tersesat kedalam kebahagiaan semu yang menjerumuskan manusia kepada nasib celaka.

Untuk membaca ebook buku tersebut, berikut Tasauf Moderen cetakan XVIII tahun 1981 terbitan Yayasan Nurul Iman yang diarsip di archive org, atau bisa download di link arsip (bookmarked).

Untuk baca buku klik di sini.


 

 

 

:D

29 April 2023

Fatwa MUI Upaya Menyelesaikan Perbedaan Awal Bulan Hijriyah

Dengan terbitnya Keputusan Fatwa Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal dan Zulhijjah secara fiqih harusnya sudah selesai.

______

  1. Awalnya th 1946 (hari raya terdiri dari Hari Raya Umum, Hari Raya Islam, Hari Raya Kristen dan Hari Raya Tiong Hwa ditetapkan oleh Menteri Agama) | Penetapan Pemerintah Nomor 2/Um ditetapkan di Yogyakarta pada 18 Juni 1946 oleh Presiden Soekarno dan Menteri Agama H. Rasjidi serta diumumkan oleh Sekretaris Negara A.G. Pringgodigdo;

  2. Th 1962 pertama kali diadakan Sidang Isbat dalam rangka penetapan tanggal 1 Ramadan dan Idul Fitri | Agenda Kementerian Agama 1950 -1952 diterbitkan oleh Bagian Publikasi dan Redaksi Djawatan Penerangan Jalan Pertjetakan Negara - Jakarta, Bab Keputusan Kementerian Agama Tentang Hari-Hari Besar;

  3. Th 1963 Sidang Isbat dilembagakan di bawah Kementerian Agama | Keputusan Menteri Agama Nomor 47 Tahun 1963 tentang Perincian Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama:

  4. Th 1972 dibentuk Badan Hisab dan Rukyat (BHR) diketuai oleh Sa’adoeddin Djambek pakar dari Muhammadiyah, dg keanggotaan Badan Hisab dan Rukyat terdiri dari para ulama/ahli yang berkompeten dari berbagai unsur organisasi dan instansi terkait | Keputusan Menteri Agama Nomor 76 Tahun 1972;

  5. Badan Hisab dan Rukyat yang berada di bawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam sejak dekade terakhir diubah menjadi Tim Hisab dan Rukyat, dan belakangan Tim Unifikasi Kalender Hijriyah;

  6. Th 2003, Wahyu Widiana (mantan Direktur Pembinaan Peradilan Agama Kementerian Agama dan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung) menyatakan “Masalah hisab rukyat di Indonesia sering menjadi persoalan nasional, khususnya di kalangan umat Islam dalam kaitan dengan masalah ibadah dan hari-hari besar Islam. Hisab rukyat tidak hanya berhubungan dengan masalah ibadah dan hari-hari besar saja, namun kajiannya lebih luas, seperti penyusunan almanak atau kalender, perkiraan akan terjadi gerhana dan sebagainya,” | Sambutan pada buku Kalender Urfi karya K.H. Banadji Aqil;

  7. Th 2024 MUI menerbitkan Keputusan Fatwa Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal dan Zulhijjah.

ref :
Sejarah Sidang Isbat Awal Ramadan/Idul Fitri di Kementerian Agama by M Fuad Nasar (Mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang) | 22 Maret 2023


Kutipan Fatwa

KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 2 Tahun 2004
Tentang
PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH

Majelis Ulama Indonesia,

MENIMBANG:

  • (a) bahwa umat Islam Indonesia dalam melaksanakan puasa Ramadan, salat Idul Fitr dan Idul Adha, serta ibadah-ibadah lain yang terkait dengan ketiga bulan tersebut terkadang tidak dapat melakukannya pada hari dan tanggal yang sama disebabkan perbedaan dalam penetapan awal bulan-bulan tersebut;
  • (b) bahwa keadaan sebagaimana tersebut pada huruf a dapat menimbulkan citra dan dampak negatif terhadap syi’ar dan dakwah Islam;
  • (c) bahwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada tanggal 22 Syawwal 1424 H/16 Desember 2003 telah menfatwakan tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, sebagai upaya mengatasi hal di atas;
  • (d) bahwa oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah dimaksud untuk dijadikan pedoman.

MENGINGAT:

1. Firman Allah SWT (Subhanahu wa Ta’ala), antara lain :

  • (QS Yunus [10]: 5) : Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu…
  • (QS. an-Nisa’ [4]: 59) : Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil-amri di antara kamu.

2. Hadis-hadis Nabi s.a.w. (shallallahu ‘alaihi wa sallam), antara lain :

  • (H.R. Bukhari Muslim dari Ibnu Umar) : “Janganlah kamu berpuasa (Ramadhan) sehingga melihat tanggal (satu Ramadhan) dan janganlah berbuka (mengakhiri puasa Ramadhan) sehingga melihat tanggal (satu Syawwal). Jika dihalangi oleh awan/mendung maka kira-kirakanlah”.
  • (Bukhari Muslim dari Abu Hurairah) : “Berpuasalah (Ramadhan) karena melihat tanggal (satu Ramadhan). Dan berbukalah (mengakhiri puasa Ramadhan) karena melihat tanggal (satu Syawwal). Apabila kamu terhalangi, sehingga tidak dapat melihatnya maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh hari”.
  • (H.R. Bukhari dari Irbadh bin Sariyah) : “Wajib bagi kalian untuk taat (kepada pemimpin), meskipun yang memimpin kalian itu seorang hamba sahaya Habsyi”.

3. Qa’idah fiqh: “Keputusan pemerintah itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan silang pendapat”.

MEMPERHATIKAN:

  1. Pendapat para ulama ahli fiqh; antara lain pendapat Imam al-Syarwani dalam Hasyiyah al-Syarwani.
  2. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, tanggal 22 Syawwal 1424/16 Desember 2003.
  3. Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 05 Dzulhijjah 1424/24 Januari 2004.

Dengan memohon ridha Allah SWT

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN : FATWA TENTANG PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH

Pertama : Fatwa

  1. Penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru’yah dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional.
  2. Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
  3. Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait.
  4. Hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla’nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.

Kedua : Rekomendasi

Agar Majelis Ulama Indonesia mengusahakan adanya kriteria penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah untuk dijadikan pedoman oleh Menteri Agama dengan membahasnya bersama ormas-ormas Islam dan para ahli terkait.

Ditetapkan di : Jakarta, 05 Dzulhijjah 1424 H / 24 Januari 2004 M

MAJELIS ULAMA INDONESIA,

KOMISI FATWA,

Ketua: KH. Ma’ruf Amin Sekretaris: Hasanudin

Sumber: Fatwa Majelis Ulama Indonesia



copy kuitipan dari muslim.or.id

Download PDF file di MUI.OR.ID











14 Desember 2021

Agar Masyarakat dan Pemerintah tidak memberikan stigma negatif terhadap makna jihad dan khilafah.

 

Jihad dan Khilafah dalam Konteks NKRI, Ini Pandangan Resmi MUI


14 November 2021

Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ke-7 yang digelar pada 9-11 di Jakarta, resmi ditutup Menteri Agama Yaqut Cholil Qaumas pada Kamis (11/11).

Ijtima Ulama diikuti oleh 700 peserta. Peserta terdiri dari unsur Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Pusat, anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, pimpinan komisi/badan/lembaga di MUI Pusat.

Selain itu, dalam pertemuan itu dihadiri pimpinan MUI Provinsi, pimpinan Komisi Fatwa MUI Provinsi, pimpinan Majelis Fatwa Ormas Islam, pimpinan pondok pesantren, pimpinan Fakultas Syariah/IAIAN/PTKI di Indonesia.

Perhelatan rutin tiga tahunan ini menyepakati 17 poin bahasan salah satunya adalah hukum JIHAD DAN KHILAFAH DALAM KONTEKS NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA.

Keterangan lengkap hasil pembahasan tentang JIHAD DAN KHILAFAH DALAM KONTEKS NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA adalah sebagai berikut:

  1. Pada dasarnya sistem kepemimpinan dalam Islam bersifat dinamis sesuai dengan kesepakatan dan pertimbangan kemaslahatan, yang ditujukan untuk kepentingan kepentingan menjaga keluhuran agama (hirasati al-din) mengatur urusan dunia (siyasati al-duniya). Dalam Sejarah Peradaban Islam, terdapat berbagai model/sistem kenegaraan dan pemerintahan serta mekanisme suksesi kepemimpinan yang semuanya sah secara syar’i;
  2. Khilafah bukan satu-satunya model/sistem kepemimpinan yang diakui dan dipraktekkan dalam Islam. Dalam dunia Islam terdapat beberapa model/sistem pemerintahan seperti: monarki, keemiran, kesultanan, dan republik;
  3. Bangsa Indonesia sepakat membentuk Negara Kesatuan yang berbentuk Republik sebagai ikhtiar maksimal untuk mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945;
  4. Jihad merupakan salah satu inti ajaran dalam Islam guna meninggikan kalimat Allah (li i’laai kalimatillah) sebagaimana telah difatwakan oleh MUI;
  5. Dalam situasi damai, implementasi makna jihad dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara dilakukan dengan cara upaya yang bersungguh-sungguh dan berkelanjutan untuk menjaga dan meninggikan agama Allah (li i’laai kalimatillah) dengan melakukan berbagai aktivitas kebaikan;
  6. Dalam situasi perang, jihad bermakna kewajiban muslim untuk mengangkat senjata guna mempertahankan kedaulatan negara;
  7. MUI menggunakan manhaj wasathiyah (berkeadilan dan berkeseimbangan) dalam memahami makna jihad dan khilafah. Oleh karena itu, MUI menolak pandangan yang dengan sengaja mengaburkan makna jihad dan khilafah, yang menyatakan bahwa Jihad dan khilafah bukan bagian dari Islam. Sebaliknya, MUI juga menolak pandangan yang memaknai jihad dengan semata-mata perang, dan khilafah sebagai satu-satunya sistem pemerintahan.


Rekomendasi

  • Agar Masyarakat dan Pemerintah tidak memberikan stigma negatif terhadap makna jihad dan khilafah.

 

sumber : mui.or.id

 

 

 

 

 

 

24 Oktober 2019

Membangun Makna Perkawinan


penggal halaman 10 .....

Dalam masyarakat lama, waktu mana berlaku sistem perbudakan, seseorang dapat saja melakukan setubuh luar nikah dengan budaknya. Hal ini dianggap sah.

Di beberapa negeri dewasa ini, – seperti di Jepang–  pelacuran dihukum sah oleh undang-undang. Dilihat dari hukum agama, semua orang Rusia yang melakukan ikatan rumah-tangga antara priya dan wanita hanya berdasarkan undang-undang negara, adalah melakukan perkawinan tanpa nikah. Demikian pula orang-orang dalam masyarakat Barat yang melakukan perkawinan hanya melalui catatan sipil. Jadi mereka yang tinggal bersama-sama sebagai suami-isteri, menurut hukum agama, hubungan perkawinannya tidak sah. Hubungan mereka adalah hubungan laki-laki dan perempuan di luar nikah.

Dalam masyarakat Barat, sekalipun persetubuhan di luar nikah dipandang tidak sah dan melanggar moral, namun kebudayaannya merangsang dan memberi kesempatan untuk itu. Apabila diteliti pergaulan bebas, terutama di antara pemuda-pemudi, ternyatalah bahwa kesempatan tersebut disediakan, sekalipun tidak disahkan dan dipandang sebagai pelanggaran moral. Dalam waktu-waktu akhir ini timbul gerakan-gerakan untuk memandang hal tersebut tidak lagi sebagai pelanggaran moral. Penemuan teknik baru dan obat baru pencegah hamil, menambah pemuasan syahwat di luar nikah atau sebelum kawin.

Ada gerakan yang tumbuh sekarang di Eropa dan Amerika, yang demi "modernisasi" memperjuangkan, agar persetubuhan di luar nikah sebelum kawin di hukum halal. Dan kalau diteliti gejala-gejala yang tumbuh belakangan ini, dengan diizinkannya pendirian "steambath" (mandi uap) dan "massage" (pijit) di Jakarta dan beberapa kota besar kita, disediakan prasarana tak-resmi untuk pemuasan hasrat seksuil di luar nikah. Lokalisasi pelacuran pun disediakan untuk demikian pula.

Karena tersedia kesempatan .atau kemungkinan untuk pemuasan seksuil luar nikah, atau luar perkawinan, secara sah atau tidak, ditantang atau dibiarkan secara diam-diam, dipandang jelek atau wajar, dihukum haram atau halal, nyatalah bahwa pemuasan nafsu itu bukanlah merupakan fungsi primer (utama) perkawinan. Ia hanya merupakan fungsi sekunder (kedua). Yang lebih penting dari fungsi biologi (hayat) itu adalah fungsi sosialnya.

Pasangan yang sudah kawin di mana-mana, hidup bersama dalam satu ikatan, diakui dan disetujui umum oleh anggota-anggota masyarakat lain. Kepada mereka dituntut untuk bekerja sama antara sesamanya dan kadang-kadang dengan anggota-anggota kerabat lainnya dalam merawat rurnah-tangga. Dan mereka diharapkan untuk melahirkan anak. Manakala anak-anak itu lahir, suami-isteri itu wajib mengakuinya sebagai anak mereka sendiri dan merawat serta mengasuhnya. Selanjutnya mereka diharapkan untuk mempertahankan ikatan suami-isteri selama hidup, sekalipun banyak kebudayaan menyediakan kaidah untuk bercerai. Bahkan ikatan atau hubungan kekerabatan yang terbentuk oleh hubungan suami-isteri itu berlanjut setelah suami-isteri itu meninggal.

Dari itu perkawinan pada seluruh umat manusia merupakan pola kebudayaan (pola mu'amalah menurut istilah Islam), untuk mengendalikan keorang-tuaan dan membentuk latar-belakang yang kukuh untuk merawat dan mengasuh anak-anak. Ia merupakan pokok sistem kebudayaan dalam membentuk susunan keluarga dan kelornpok-kelompok lain yang berdasarkan kekerabatan, yang berperanan dalam pendidikan sosial dan ekonomi. Ketiadaan lembaga perkawinan pada hewan, – sebagai salah satu perbedaan pokoknya dari pada manusia–, adalah karena hewan tidak berkebudayaan.

Dengan demikian perkawinan adalah fenomena kebudayaan yang rumit (kompleks), dalam mana fungsi sosial memainkan peranan utama. Fungsi yang terpenting ialah merawat dan mengasuh anak (dengan demikian mewariskan agama dan kebudayaan atau ibadah dan mu'amalah), merawat rumah-tangga dan kebutuhan kebudayaan untuk kerabat. Diperbandingkan dengan fungsi sosial ini fungsi biologi hanya memainkan peranan kecil.

Keluarga yang dibentuk oleh perkawinan merupakan kesatuan sosial (unit masyarakat) yang terkecil, yang jadi "batu bata" (dari) perumahan masyarakat. Kalau batu bata itu rapuh, perumahan itu tidak utuh. Kalau keluarga tidak mantap, masyarakatpun akan goyah, tidak stabil.

Kalau tujuan utama perkawinan pemuasan seksuil, dengan mudah jadi kawin-cerai kawin-cerai, karena hasrat seksuil tidak kenal puas. Hubungan suami-isteri tidak kukuh, rumah-tangga tidak stabil, anak-anak tidak terurus, keluarga berantakan, masyarakat rusak. Mengertilah kita, kenapa Islam tidak menyenangi perceraian. "Pekerjaan halal yang amat dimurkai Allah adalah perceraian'', kata Nabi.

Syarat rumah-tangga yang kukuh, dalam mana anak-anak memperoleh asuhan dan pendidikan yang pertama-tama sekali–, adalah apabila ada keserasian antara suami-isteri. Apabila keserasian tidak akan diperdapat atau sukar tumbuhnya, Qur-an melarang perkawinan. Karena itu Qur'an melarang kawin antara priya Mu'min dengan wanita musyrik dan sebaliknya (Q.S. 2:220). Demikian pula antara Mu'min dan kafir (Q.S. 60:10). Tidak boleh mengawini isteri yang ditalak 3X, sebelum ia bersuami dengan laki-laki lain, sesudah itu bercerai. Talak merupakan sejenis pendidikan. Sesudah 3 kali ikatan perkawinan masih juga belum terbentuk keserasian, perlu si wanita kawin dengan laki-laki lain untuk perbandingan dan introspeksi. Kalau dengan laki-laki lain itu si wanita juga gagal dalam membentuk keserasian, bolehlah ia kembali kepada suaminya yang pertama. Moga-moga kesadaran yang ditumbuhkan oleh talak dan kawin itu akan mampu membentuk rumah tingga yang harmoni, yang amat diperlukan oleh anak-anaknya.

Tidak boleh mengawini bekas isteri bapa sendiri (Q.S. 4:22), karena dalam kejiwaan tidak mungkin terbentuk keserasian sebagai suami-isteri antara anak dan tingkat ibunya, sekalipun secara resmi bukan tingkat ibunya lagi. Kalaulah fungsi biologi (hasrat seksuil) yang jadi tujuan utama perkawinan, tentu Qur-an membolehkan kawin dengan siapa saja. Sebab, Qur-an sesuai dengan fitrah manusia, dan ia mengatur dan menuntun kemanusiaan. Karena itulah, apabila ayat-ayat Qur-an tentang perkawinan dibahas dengan informasi ilmu-budaya, tersimpullah bahwa fungsi sosial merupakan tujuan utama, fungsi biologi merupakan yang keduanya.

Tujuan perkawinan jelas sifatnya suci. Ia harus dicegah dari penodaan. Karena itulah ia jadi lembaga keagamaan. Agamalah yang melindungi, mengawal dan mengamankan kesucian perkawinan. Perkawinan yang diasaskun sekuler (adat saja, kebudayaan saja) tak akan menjaga atau mampu menjaga kesucian itu.

Perhatikan misalnya suruhan Qur-an:

الزَّانِي لاَ يَنكِحُ إلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ


Laki-laki yang berzina hanya mengawini perempuan yong berzina (pula) atau perempuan yang musyrik. Don perempuan yang berzina hanya dikawini oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan yang demikian itu dilarang untuk orang-orang beriman (QS 24:3)

Jelas fuagsi sosial dan sifat kesucian pada ayat itu. Seseorang harus kawin dengan orang yang setingkat atau sejenis sosialnya dengan dia. Orang yang berzina adalah orang yang tidak memelihara kesucian. Karena ilu terlarang orang yang memelihara kesucian dirinya kawin dengan orang berzina.

Ilmu-budayapun menganjurkan supaya kawin dengan orang yang sekebudayaan, maksudnya setingkat atau sejenis sosial. Ilmu memang tidak melarang untuk kawin dengan siapapun juga. Tetapi kalau orang ingin membentuk harmoni dalam rumah-tangga, *haruslah bertemu pandangan dan sikap hidup antara suami dan isteri. Lingkungan sosial dan kebudayaan yang sama membentuk pandangan dan sikap hidup yang sama pula.

Jadi tujuan utama perkawinan ialah mengendalikan keorang-tuaan dan membentuk latar belakang yang kukuh untuk merawat dan mengasuh anak-anak. Dengan pendidikan, orangtua membentuk anaknya menjadi baik. Anak-anak yang baik terhindar dari kejahatan. Kejahatan berarti dosa. Sanksi dosa adalah neraka. Neraka itu bukan hanya ada di akhirat, tapi di duniapun ia ada. Maka anak-anak yang baik, anggota keluarga yang baik, terhindar dari neraka. Maka dalam hubungan keluarga yang dibentuk oleh perkawinan, Qur-an menyuruh

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا


"Hai orang yong beriman! Peliharalah dirimu dan kaum keluargamu dari api neraka-......"(QS. 66:6).


Fungsi sosial sebagai tujuan perkawinanlah yang mampu menaati suruhan itu. Apakah itu pula tujuan perkawinan tuan? Kehidupan sosial memerlukan aturan-aturan. Aturan itu menentukan mana yang boleh, mana yang terlarang, sehingga laku-perbuatan tidak sewenang-wenang, melainkan ada batas-batasnya. Apakah dalam hal perkawinan ada pula pembatasan?

Selengkapnya silahkan baca buku Menghadapi Soal-soal Perkawinan karangan Drs. Sidi Gazalba

06 Juni 2019

ebook - Anatomi Ilmu Sosial



ANATOMI SISTEM SOSIAL

oleh :
M. Husni Muadz

File PDF yang berisi BAB 1, bisa download via


Hardcopy dapat pula dibaca di perpustakaan Lemhannas
Jl. Medan Merdeka Sel. No.10, Gambir, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10110

http://lib.lemhannas.go.id/opac/detailopac/13770