penggal halaman 10 .....
Dalam
masyarakat lama, waktu mana berlaku sistem perbudakan, seseorang dapat
saja melakukan setubuh luar nikah dengan budaknya. Hal ini dianggap sah.
Di beberapa negeri dewasa ini, – seperti di Jepang– pelacuran dihukum sah oleh undang-undang. Dilihat dari hukum agama,
semua orang Rusia yang melakukan ikatan rumah-tangga antara priya dan
wanita hanya berdasarkan undang-undang negara, adalah melakukan
perkawinan tanpa nikah. Demikian pula orang-orang dalam masyarakat Barat
yang melakukan perkawinan hanya melalui catatan sipil. Jadi mereka yang tinggal bersama-sama sebagai suami-isteri, menurut hukum agama, hubungan perkawinannya tidak sah. Hubungan mereka adalah hubungan laki-laki dan perempuan di luar nikah.
Dalam
masyarakat Barat, sekalipun persetubuhan di luar nikah dipandang tidak
sah dan melanggar moral, namun kebudayaannya merangsang dan memberi
kesempatan untuk itu. Apabila diteliti pergaulan bebas, terutama di
antara pemuda-pemudi, ternyatalah bahwa kesempatan tersebut disediakan,
sekalipun tidak disahkan dan dipandang sebagai pelanggaran moral. Dalam
waktu-waktu akhir ini timbul gerakan-gerakan untuk memandang hal
tersebut tidak lagi sebagai pelanggaran moral. Penemuan teknik baru dan
obat baru pencegah hamil, menambah pemuasan syahwat di luar nikah atau
sebelum kawin.
Ada gerakan yang tumbuh sekarang di
Eropa dan Amerika, yang demi "modernisasi" memperjuangkan, agar
persetubuhan di luar nikah sebelum kawin di hukum halal. Dan kalau
diteliti gejala-gejala yang tumbuh belakangan ini, dengan diizinkannya
pendirian "steambath" (mandi uap) dan "massage" (pijit) di Jakarta dan
beberapa kota besar kita, disediakan prasarana tak-resmi untuk pemuasan
hasrat seksuil di luar nikah. Lokalisasi pelacuran pun disediakan untuk
demikian pula.
Karena tersedia kesempatan .atau
kemungkinan untuk pemuasan seksuil luar nikah, atau luar perkawinan,
secara sah atau tidak, ditantang atau dibiarkan secara diam-diam,
dipandang jelek atau wajar, dihukum haram atau halal, nyatalah bahwa
pemuasan nafsu itu bukanlah merupakan fungsi primer (utama) perkawinan. Ia hanya merupakan fungsi sekunder (kedua). Yang lebih penting dari fungsi biologi (hayat) itu adalah fungsi sosialnya.
Pasangan
yang sudah kawin di mana-mana, hidup bersama dalam satu ikatan, diakui
dan disetujui umum oleh anggota-anggota masyarakat lain. Kepada mereka
dituntut untuk bekerja sama antara sesamanya dan kadang-kadang dengan
anggota-anggota kerabat lainnya dalam merawat rurnah-tangga. Dan mereka
diharapkan untuk melahirkan anak. Manakala anak-anak itu lahir,
suami-isteri itu wajib mengakuinya sebagai anak mereka sendiri dan
merawat serta mengasuhnya. Selanjutnya mereka diharapkan untuk
mempertahankan ikatan suami-isteri selama hidup, sekalipun banyak
kebudayaan menyediakan kaidah untuk bercerai. Bahkan ikatan atau
hubungan kekerabatan yang terbentuk oleh hubungan suami-isteri itu
berlanjut setelah suami-isteri itu meninggal.
Dari itu perkawinan pada seluruh umat manusia merupakan pola kebudayaan (pola mu'amalah menurut istilah Islam), untuk mengendalikan keorang-tuaan dan membentuk latar-belakang yang kukuh untuk merawat dan mengasuh anak-anak.
Ia merupakan pokok sistem kebudayaan dalam membentuk susunan keluarga
dan kelornpok-kelompok lain yang berdasarkan kekerabatan, yang
berperanan dalam pendidikan sosial dan ekonomi. Ketiadaan lembaga
perkawinan pada hewan, – sebagai salah satu perbedaan pokoknya dari pada
manusia–, adalah karena hewan tidak berkebudayaan.
Dengan
demikian perkawinan adalah fenomena kebudayaan yang rumit (kompleks),
dalam mana fungsi sosial memainkan peranan utama. Fungsi yang terpenting
ialah merawat dan mengasuh anak (dengan demikian mewariskan agama dan
kebudayaan atau ibadah dan mu'amalah), merawat rumah-tangga dan
kebutuhan kebudayaan untuk kerabat. Diperbandingkan dengan fungsi sosial ini fungsi biologi hanya memainkan peranan kecil.
Keluarga yang dibentuk oleh perkawinan merupakan kesatuan sosial
(unit masyarakat) yang terkecil, yang jadi "batu bata" (dari) perumahan
masyarakat. Kalau batu bata itu rapuh, perumahan itu tidak utuh. Kalau
keluarga tidak mantap, masyarakatpun akan goyah, tidak stabil.
Kalau
tujuan utama perkawinan pemuasan seksuil, dengan mudah jadi kawin-cerai
kawin-cerai, karena hasrat seksuil tidak kenal puas. Hubungan
suami-isteri tidak kukuh, rumah-tangga tidak stabil, anak-anak tidak
terurus, keluarga berantakan, masyarakat rusak. Mengertilah kita, kenapa
Islam tidak menyenangi perceraian. "Pekerjaan halal yang amat dimurkai
Allah adalah perceraian'', kata Nabi.
Syarat
rumah-tangga yang kukuh, dalam mana anak-anak memperoleh asuhan dan
pendidikan yang pertama-tama sekali–, adalah apabila ada keserasian
antara suami-isteri. Apabila keserasian tidak akan diperdapat atau sukar
tumbuhnya, Qur-an melarang perkawinan. Karena itu Qur'an melarang kawin
antara priya Mu'min dengan wanita musyrik dan sebaliknya (Q.S. 2:220). Demikian pula antara Mu'min dan kafir (Q.S. 60:10). Tidak boleh
mengawini isteri yang ditalak 3X, sebelum ia bersuami dengan laki-laki
lain, sesudah itu bercerai. Talak merupakan sejenis pendidikan. Sesudah 3
kali ikatan perkawinan masih juga belum terbentuk keserasian, perlu si
wanita kawin dengan laki-laki lain untuk perbandingan dan introspeksi.
Kalau dengan laki-laki lain itu si wanita juga gagal dalam membentuk
keserasian, bolehlah ia kembali kepada suaminya yang pertama. Moga-moga
kesadaran yang ditumbuhkan oleh talak dan kawin itu akan mampu membentuk
rumah tingga yang harmoni, yang amat diperlukan oleh anak-anaknya.
Tidak
boleh mengawini bekas isteri bapa sendiri (Q.S. 4:22), karena dalam
kejiwaan tidak mungkin terbentuk keserasian sebagai suami-isteri antara
anak dan tingkat ibunya, sekalipun secara resmi bukan tingkat ibunya
lagi. Kalaulah fungsi biologi (hasrat seksuil) yang jadi tujuan utama
perkawinan, tentu Qur-an membolehkan kawin dengan siapa saja. Sebab,
Qur-an sesuai dengan fitrah manusia, dan ia mengatur dan menuntun
kemanusiaan. Karena itulah, apabila ayat-ayat Qur-an tentang perkawinan
dibahas dengan informasi ilmu-budaya, tersimpullah bahwa fungsi sosial
merupakan tujuan utama, fungsi biologi merupakan yang keduanya.
Tujuan
perkawinan jelas sifatnya suci. Ia harus dicegah dari penodaan. Karena
itulah ia jadi lembaga keagamaan. Agamalah yang melindungi, mengawal dan
mengamankan kesucian perkawinan. Perkawinan yang diasaskun sekuler (adat saja, kebudayaan saja) tak akan menjaga atau mampu menjaga
kesucian itu.
Perhatikan misalnya suruhan Qur-an:
الزَّانِي
لاَ يَنكِحُ إلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ
يَنكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ
Laki-laki yang berzina hanya mengawini
perempuan yong berzina (pula) atau perempuan yang musyrik. Don perempuan
yang berzina hanya dikawini oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki
musyrik. Dan yang demikian itu dilarang untuk orang-orang beriman (QS
24:3)
Jelas fuagsi sosial dan sifat kesucian
pada ayat itu. Seseorang harus kawin dengan orang yang setingkat atau
sejenis sosialnya dengan dia. Orang yang berzina adalah orang yang tidak
memelihara kesucian. Karena ilu terlarang orang yang memelihara
kesucian dirinya kawin dengan orang berzina.
Ilmu-budayapun
menganjurkan supaya kawin dengan orang yang sekebudayaan, maksudnya
setingkat atau sejenis sosial. Ilmu memang tidak melarang untuk kawin
dengan siapapun juga. Tetapi kalau orang ingin membentuk harmoni dalam
rumah-tangga, *haruslah bertemu pandangan dan sikap hidup antara suami
dan isteri. Lingkungan sosial dan kebudayaan yang sama membentuk
pandangan dan sikap hidup yang sama pula.
Jadi tujuan
utama perkawinan ialah mengendalikan keorang-tuaan dan membentuk latar
belakang yang kukuh untuk merawat dan mengasuh anak-anak. Dengan
pendidikan, orangtua membentuk anaknya menjadi baik. Anak-anak yang baik
terhindar dari kejahatan. Kejahatan berarti dosa. Sanksi dosa adalah
neraka. Neraka itu bukan hanya ada di akhirat, tapi di duniapun ia ada.
Maka anak-anak yang baik, anggota keluarga yang baik, terhindar dari
neraka. Maka dalam hubungan keluarga yang dibentuk oleh perkawinan,
Qur-an menyuruh
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
"Hai orang yong beriman! Peliharalah dirimu dan kaum keluargamu dari api neraka-......"(QS. 66:6).
Fungsi sosial sebagai tujuan perkawinanlah yang mampu menaati suruhan itu.
Apakah itu pula tujuan perkawinan tuan? Kehidupan sosial memerlukan
aturan-aturan. Aturan itu menentukan mana yang boleh, mana yang
terlarang, sehingga laku-perbuatan tidak sewenang-wenang, melainkan ada
batas-batasnya. Apakah dalam hal perkawinan ada pula pembatasan?
Selengkapnya silahkan baca buku
Menghadapi Soal-soal Perkawinan karangan
Drs. Sidi Gazalba