29 Januari 2009

Ahli Kitab dalam Persoalan Kawin Campur


Posting untuk milis islam liberal 22 nopember 2002, dalam menanggapi artikel Ulil yang berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam (Kompas, Senin, 18 November 2002)

Saya sangat tertarik dengan gagasan utama rekan ulil dalam tulisannya "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam", bahwa persoalan umat Islam ini bermuara pada cara menafsirkan agama Islam (meski ada hal lain juga yang menurut saya juga sgnifikan, yaitu kerukunan umatnya). Namun dengan keterbatasan saya. Saya baru bisa menanggapi ilustrasi atau contoh yang diambil rekan ulil di salah satu item pokok pikiran utamanya.

Ilustrasi tersebut dipergunakan pada saat rekan ulil menyampaikan perlunya umat islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai "umat yang terpish dari gologan lain", yaitu larangan kawin campur sebagai hal yang sudah tidak relevan.

Saya berkebaratan kalau dikatakan Quran tidak pernah dengan tegas melarang kawin campur. Untuk itu akan kita lihat bersama bagaimana Quran menyampaikan pesannya mengenai larangan kawin campur beda agama ini. Dan mohon maaf sebelumnya kalau tulisan saya ini memberikan pengantar yang terlalu jauh alias muter-muter dulu.

Hakikat Agama

Kalau ada pertanyaan apakah agama itu, maka pengetahuan hakikat agama dikalangan tertentu hanya dapat menyebut namanya saja. Sedangkan dikalangan terpelajar menjawabnya biasanya dengan merujuk pendapat-pendapat para profesor, dosen-2 atau ilmuan-ilmuan lain. Memang pendapat-pendapat tersebut tidak selamanya dapat memberikan pemahaman ttg hakikat agama secara utuh. Kadang pemahaman agama yang disampaikan hanya menyentuh kondisi penganutnya, asal-usulnya atau bahkan asal katanya saja.

Pengetahuan tentang apa itu agama telah disebutkan dalam Quran dengan sebutan dien. Ayat-ayat yang menjelaskan hakikat dan fungsi agama ini dapat dicermati dari Surat Al-Kafirun yang menggunakan dien untuk Islam maupun non Islam. Dan urusan keduanya kita dilarang untuk mencampuradukkan. Sebab apa yang diibadahi orang islam tidak akan sama dengan apa yang diibadahi orang non islam. Oleh sebab itulah agama itu tiada lain merupakan penghambaan/peribadahan manusia kepada tuhannya. Karena intinya pada penghambaan, sudah barang tentu idealnya akan mencakup secara totalitas orang yang meyakininya.

Muslim dan Kafir


Disinilah Quran memberikan kesamaan derajat universal kepada semua manusia, untuk mimilih tuhannya. Bagi manusia yang bersedia membenarkan atau bersedia bersaksi bahwa Allah sebagai tuhannya, Quran memberikan sebutan sebagai orang yang memiliki dienul-Islam. Maka disebutkanlah dalam Quran bahwa Ibrahim itu bukannya orang Nasrani, bukan pula orang Yahudi tetapi dia orang Islam yang hanif (3:67). Dengan demikian tentunya Quran menyatakan kalau tuhannya orang nasrani atau orang yahudi tidak sama dengan tuhannya Ibrahim.

Jadi setelah manusia mendapatkan perlakuan yang sama untuk memilih tuhannya, maka Allah membedakan antara yang beribadah kepada-Nya dan yang beribadah kepada selain-Nya. Yang beribadah kepada Allah diberi sebutan Muslim dan yang beribadah kepada selain Allah diberi sebutan kafir (Surat Al-Kafirun). Kebebasan ini pun diberikan kepada yang beriman maupun yang tidak beriman untuk merubah pendiriannya. Buktinya setiap orang bisa merubah agamanya setiap saat. Tinggal kemauan masing-masing orang. Dan setiap pilihannya memberikan konskuensinya masing-masing. Dengan perbedaan ini bukannya untuk saling bermusuhan, tetapi untuk saling memahami sehingga ada kerjasama

Dan pada masa Muhammad diangkat menjadi rasulullah, maka ada yang beriman dan ada yang tidak. Termasuk ahli kitab dinyatakan dalam Quran, bahwa sebagaian dari mereka bersedia beradaptasi terhadap perkembangan zaman dengan beriman kepada Muhammad sebagai Rasulullah, dan sebagian yang lain tidak beriman. Oleh sebab itulah bagi ahli kitab yang tidak beriman kepada Kerasulan Muhammad sama saja dengan tidak beriman kepada Allah yang telah merasulkan Muhammad, sehingga disebut sebagai fasik atau kafir.

Larangan Kawin Beda Agama

Ketika umat Islam berhijrah, maka diminta Allah untuk menguji keimanan perempuan-perempuan mereka. Kalau ternyata mereka benar-benar beriman, maka dilarang mengembalikan kepada suami mereka yang kafir. Mereka tiada halal (dinikahi) oleh orang-orang kafir, dan orang kafir pun tiada halal bagi mereka (untuk dinikahkan). Bahkan perempuan-perempuan ini pun diminta mengembalikan maharnya kepada suaminya yang kafir. Demikian pula bagi laki-laki mukmin dilarang mempertahankan perkawinan mereka dengan orang-orang kafir. Kalau perlu meminta kembali mahar yang pernah diberikan. Hal ini ditegaskan dalam Quran surat 60:10.

Menurut saya ayat ini jelas melarang laki-laki maupun perempuan beriman untuk kawin dengan orang kafir (orang yang beribadah kepada selain Allah dan menolak kerasulan Muhammad).

Bagaimana dengan Almaidah ayat 5 yang menyatakan kehalalan menikahi perempuan ahli kitab ? Kita tahu bahwa Quran ini kita imani sebagai wahyu Allah yang benar sehingga tidak ada inkonsistensi didalamnya (namun manusia bisa salah memahami/ menafsirkannya). Kalau kita membandingkan ayat 10 surat Mumtahanah dengan ayat 5 surat Al-Maidah saja kelihatannya saling bertentangan. Namun hal ini tidak menjadi bertentangan setelah kita memahami bahwa ahli kitab itu ada yang beriman dan ada yang kafir. Oleh sebab itu ahli kitab yang diperkenankan untuk dinikahi itu tentu saja ahli kitab yang beriman. Artinya Ahli kitab yang beriman kepada Allah dan setelah mendengar kerasulan muhammad ia beriman kepada Muhammad sebagai Rasullullah yang pada akhirnya tiada lain ternyata orang yang beriman (Islam) juga.

Penutup

Demikian tanggapan saya, maaf belum bisa nanggapi bagian utamanya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar