24 Oktober 2019

Membangun Makna Perkawinan


penggal halaman 10 .....

Dalam masyarakat lama, waktu mana berlaku sistem perbudakan, seseorang dapat saja melakukan setubuh luar nikah dengan budaknya. Hal ini dianggap sah.

Di beberapa negeri dewasa ini, – seperti di Jepang–  pelacuran dihukum sah oleh undang-undang. Dilihat dari hukum agama, semua orang Rusia yang melakukan ikatan rumah-tangga antara priya dan wanita hanya berdasarkan undang-undang negara, adalah melakukan perkawinan tanpa nikah. Demikian pula orang-orang dalam masyarakat Barat yang melakukan perkawinan hanya melalui catatan sipil. Jadi mereka yang tinggal bersama-sama sebagai suami-isteri, menurut hukum agama, hubungan perkawinannya tidak sah. Hubungan mereka adalah hubungan laki-laki dan perempuan di luar nikah.

Dalam masyarakat Barat, sekalipun persetubuhan di luar nikah dipandang tidak sah dan melanggar moral, namun kebudayaannya merangsang dan memberi kesempatan untuk itu. Apabila diteliti pergaulan bebas, terutama di antara pemuda-pemudi, ternyatalah bahwa kesempatan tersebut disediakan, sekalipun tidak disahkan dan dipandang sebagai pelanggaran moral. Dalam waktu-waktu akhir ini timbul gerakan-gerakan untuk memandang hal tersebut tidak lagi sebagai pelanggaran moral. Penemuan teknik baru dan obat baru pencegah hamil, menambah pemuasan syahwat di luar nikah atau sebelum kawin.

Ada gerakan yang tumbuh sekarang di Eropa dan Amerika, yang demi "modernisasi" memperjuangkan, agar persetubuhan di luar nikah sebelum kawin di hukum halal. Dan kalau diteliti gejala-gejala yang tumbuh belakangan ini, dengan diizinkannya pendirian "steambath" (mandi uap) dan "massage" (pijit) di Jakarta dan beberapa kota besar kita, disediakan prasarana tak-resmi untuk pemuasan hasrat seksuil di luar nikah. Lokalisasi pelacuran pun disediakan untuk demikian pula.

Karena tersedia kesempatan .atau kemungkinan untuk pemuasan seksuil luar nikah, atau luar perkawinan, secara sah atau tidak, ditantang atau dibiarkan secara diam-diam, dipandang jelek atau wajar, dihukum haram atau halal, nyatalah bahwa pemuasan nafsu itu bukanlah merupakan fungsi primer (utama) perkawinan. Ia hanya merupakan fungsi sekunder (kedua). Yang lebih penting dari fungsi biologi (hayat) itu adalah fungsi sosialnya.

Pasangan yang sudah kawin di mana-mana, hidup bersama dalam satu ikatan, diakui dan disetujui umum oleh anggota-anggota masyarakat lain. Kepada mereka dituntut untuk bekerja sama antara sesamanya dan kadang-kadang dengan anggota-anggota kerabat lainnya dalam merawat rurnah-tangga. Dan mereka diharapkan untuk melahirkan anak. Manakala anak-anak itu lahir, suami-isteri itu wajib mengakuinya sebagai anak mereka sendiri dan merawat serta mengasuhnya. Selanjutnya mereka diharapkan untuk mempertahankan ikatan suami-isteri selama hidup, sekalipun banyak kebudayaan menyediakan kaidah untuk bercerai. Bahkan ikatan atau hubungan kekerabatan yang terbentuk oleh hubungan suami-isteri itu berlanjut setelah suami-isteri itu meninggal.

Dari itu perkawinan pada seluruh umat manusia merupakan pola kebudayaan (pola mu'amalah menurut istilah Islam), untuk mengendalikan keorang-tuaan dan membentuk latar-belakang yang kukuh untuk merawat dan mengasuh anak-anak. Ia merupakan pokok sistem kebudayaan dalam membentuk susunan keluarga dan kelornpok-kelompok lain yang berdasarkan kekerabatan, yang berperanan dalam pendidikan sosial dan ekonomi. Ketiadaan lembaga perkawinan pada hewan, – sebagai salah satu perbedaan pokoknya dari pada manusia–, adalah karena hewan tidak berkebudayaan.

Dengan demikian perkawinan adalah fenomena kebudayaan yang rumit (kompleks), dalam mana fungsi sosial memainkan peranan utama. Fungsi yang terpenting ialah merawat dan mengasuh anak (dengan demikian mewariskan agama dan kebudayaan atau ibadah dan mu'amalah), merawat rumah-tangga dan kebutuhan kebudayaan untuk kerabat. Diperbandingkan dengan fungsi sosial ini fungsi biologi hanya memainkan peranan kecil.

Keluarga yang dibentuk oleh perkawinan merupakan kesatuan sosial (unit masyarakat) yang terkecil, yang jadi "batu bata" (dari) perumahan masyarakat. Kalau batu bata itu rapuh, perumahan itu tidak utuh. Kalau keluarga tidak mantap, masyarakatpun akan goyah, tidak stabil.

Kalau tujuan utama perkawinan pemuasan seksuil, dengan mudah jadi kawin-cerai kawin-cerai, karena hasrat seksuil tidak kenal puas. Hubungan suami-isteri tidak kukuh, rumah-tangga tidak stabil, anak-anak tidak terurus, keluarga berantakan, masyarakat rusak. Mengertilah kita, kenapa Islam tidak menyenangi perceraian. "Pekerjaan halal yang amat dimurkai Allah adalah perceraian'', kata Nabi.

Syarat rumah-tangga yang kukuh, dalam mana anak-anak memperoleh asuhan dan pendidikan yang pertama-tama sekali–, adalah apabila ada keserasian antara suami-isteri. Apabila keserasian tidak akan diperdapat atau sukar tumbuhnya, Qur-an melarang perkawinan. Karena itu Qur'an melarang kawin antara priya Mu'min dengan wanita musyrik dan sebaliknya (Q.S. 2:220). Demikian pula antara Mu'min dan kafir (Q.S. 60:10). Tidak boleh mengawini isteri yang ditalak 3X, sebelum ia bersuami dengan laki-laki lain, sesudah itu bercerai. Talak merupakan sejenis pendidikan. Sesudah 3 kali ikatan perkawinan masih juga belum terbentuk keserasian, perlu si wanita kawin dengan laki-laki lain untuk perbandingan dan introspeksi. Kalau dengan laki-laki lain itu si wanita juga gagal dalam membentuk keserasian, bolehlah ia kembali kepada suaminya yang pertama. Moga-moga kesadaran yang ditumbuhkan oleh talak dan kawin itu akan mampu membentuk rumah tingga yang harmoni, yang amat diperlukan oleh anak-anaknya.

Tidak boleh mengawini bekas isteri bapa sendiri (Q.S. 4:22), karena dalam kejiwaan tidak mungkin terbentuk keserasian sebagai suami-isteri antara anak dan tingkat ibunya, sekalipun secara resmi bukan tingkat ibunya lagi. Kalaulah fungsi biologi (hasrat seksuil) yang jadi tujuan utama perkawinan, tentu Qur-an membolehkan kawin dengan siapa saja. Sebab, Qur-an sesuai dengan fitrah manusia, dan ia mengatur dan menuntun kemanusiaan. Karena itulah, apabila ayat-ayat Qur-an tentang perkawinan dibahas dengan informasi ilmu-budaya, tersimpullah bahwa fungsi sosial merupakan tujuan utama, fungsi biologi merupakan yang keduanya.

Tujuan perkawinan jelas sifatnya suci. Ia harus dicegah dari penodaan. Karena itulah ia jadi lembaga keagamaan. Agamalah yang melindungi, mengawal dan mengamankan kesucian perkawinan. Perkawinan yang diasaskun sekuler (adat saja, kebudayaan saja) tak akan menjaga atau mampu menjaga kesucian itu.

Perhatikan misalnya suruhan Qur-an:

الزَّانِي لاَ يَنكِحُ إلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ


Laki-laki yang berzina hanya mengawini perempuan yong berzina (pula) atau perempuan yang musyrik. Don perempuan yang berzina hanya dikawini oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan yang demikian itu dilarang untuk orang-orang beriman (QS 24:3)

Jelas fuagsi sosial dan sifat kesucian pada ayat itu. Seseorang harus kawin dengan orang yang setingkat atau sejenis sosialnya dengan dia. Orang yang berzina adalah orang yang tidak memelihara kesucian. Karena ilu terlarang orang yang memelihara kesucian dirinya kawin dengan orang berzina.

Ilmu-budayapun menganjurkan supaya kawin dengan orang yang sekebudayaan, maksudnya setingkat atau sejenis sosial. Ilmu memang tidak melarang untuk kawin dengan siapapun juga. Tetapi kalau orang ingin membentuk harmoni dalam rumah-tangga, *haruslah bertemu pandangan dan sikap hidup antara suami dan isteri. Lingkungan sosial dan kebudayaan yang sama membentuk pandangan dan sikap hidup yang sama pula.

Jadi tujuan utama perkawinan ialah mengendalikan keorang-tuaan dan membentuk latar belakang yang kukuh untuk merawat dan mengasuh anak-anak. Dengan pendidikan, orangtua membentuk anaknya menjadi baik. Anak-anak yang baik terhindar dari kejahatan. Kejahatan berarti dosa. Sanksi dosa adalah neraka. Neraka itu bukan hanya ada di akhirat, tapi di duniapun ia ada. Maka anak-anak yang baik, anggota keluarga yang baik, terhindar dari neraka. Maka dalam hubungan keluarga yang dibentuk oleh perkawinan, Qur-an menyuruh

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا


"Hai orang yong beriman! Peliharalah dirimu dan kaum keluargamu dari api neraka-......"(QS. 66:6).


Fungsi sosial sebagai tujuan perkawinanlah yang mampu menaati suruhan itu. Apakah itu pula tujuan perkawinan tuan? Kehidupan sosial memerlukan aturan-aturan. Aturan itu menentukan mana yang boleh, mana yang terlarang, sehingga laku-perbuatan tidak sewenang-wenang, melainkan ada batas-batasnya. Apakah dalam hal perkawinan ada pula pembatasan?

Selengkapnya silahkan baca buku Menghadapi Soal-soal Perkawinan karangan Drs. Sidi Gazalba

Tidak ada komentar:

Posting Komentar